Sabtu, 13 Agustus 2016

Sebuah catatan ringan mengenai kisruh internal di PKS



Friends,

Masih menarik mengikuti perkembangan kasus kisruh internal di tubuh partai "paling islam" yang mengaku berdakwah sambil berpolitik bernama PKS. Fenomena sengketa antara saudara FH dengan para elit partai itu, berebut kursi empuk Wakil Ketua DPR RI demi perjuangan  kebenaran, tentu terus melekat kuat dalam ingatan umat.

Terakhir, lewat mess media, publik 'mafhum' bahwa saudara FH yang menggugat aksi pemecatannya dari seluruh jenjang keanggotaan PKS oleh elit partai telah dimenangkan melalui putusan sela praperadilan oleh PN Jakarta Selatan. Dengan itu, sementara, gagal total lah upaya para elit pks merebut kursi bergengsi di Senayan, saudara FH tetap berhak atas jabatan Wakil Ketua DPR RI, sampai ada keputusan final yang berkekuatan hukum tetap.
Lalu publik juga tau, saudara FH secara resmi telah melayangkan aduan terhadap 3 orang oknum petinggi partai tsb, selaku sesama anggota parlemen, ke MKD atas pelanggaran etika, dengan tuduhan yang lebih kurang sama dengan dasar gugatannya ke pengadilan negeri: pencemaran nama baik, fitnah dan atau kebohongan publik yang merugikan nama baiknya.

Sampai dengan saat ini, sudah sekitar setengah tahun kasus ini bergulir, sejak kabar "perang saudara" itu mencuat ke ranah publik. Banyak orang bertanya, apa dan bagaimana kelanjutannya??

Saat ini, ada berita gembira yang tidak terpublikasikan yaitu kabarnya sudah terjadi 'ishlah' (khusus pribadi?) antara ustadz SS yang saat ini memegang amanah jabatan ketua MS partai dengan saudara FH. Alhamdulillah, niscaya banyak orang ikut bersyukur - 'wa bil khusus' mereka berdua - karena memang itulah jalan prioritas ajaran Islam.

Eventually, walaupun sudah terlalu banyak "enerji tak perlu" terbuang, dan "aurat" partai terlanjur tersingkap, kaum muslim, para kader partai, para konstituen dan simpatisan PKS patut merasa lega dan turut bahagia. Jalan damai Islam "babak pertama" telah tercapai, subjek figur sentral pelaku kisruh partai sudah saling memaafkan.

So, what to do next?
Setelah pelukan mesra kedua tokoh politik dakwah ini, apa lagi..??

Tersisa pertanyaan di benak publik, ishlah itu apa maknanya thdp pokok persoalan??
Apakah itu artinya para elit pks sudah menyadari mereka lah yang selama ini keliru memecat saudara FH serta ingin memaksa ia mundur dari jabatan kursi wakil ketua dpr, atau bagaimana...??
Ya hendaknya itu diperjelas, dipublisir lah secara patut ke publik luas hingga tuntas.
Sebagaimana gaduh yang telah terlanjur terjadi karena perebutan kursi kehormatan yang membuat umat ikut terguncang, semestinya ishlah itu segeralah dilanjut dengan babak kedua dst nya, agar segalanya menjadi terang benderang, jelas dan tuntas. Yang benar harus dikatakan benar, agar pihak yang benar tidak lagi tersisa ganjalan sakit hati, demikian pun sebaliknya yang salah dikatakan salah supaya tidak lagi tersisa beban dosa di kemudiaan hari. Tidak ada satu soal pun dalam hidup ini yang tidak terselesaikan jikalau prinsip ajaran Islam mau dianut dan diamalkan secara benar. Umat tentu akan semakin berlapang dada jika semua pihak yang pernah berbuat salah kembali sadar,  berani mengakui secara ksatria perbuatan khilafnya, lalu secara patut dan rendah hati meminta maaf kepada pihak yang sempat terdzolimi.

Demikianlah ajaran mulia Islam, ishlah itu sama sekali bukan ideologi politik basa-basi.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [AQ; Al-Ahzab: 70-71]


Josa Herman Rozali

(Konsultan Bisnis dan Hukum, tinggal di Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

QUOTE FOR TODAY

"Tuhan menciptakan bangsa untuk maju melawan kebohongan elit atas, hanya bangsanya sendiri yang mampu merubah nasib negerinya sendiri." “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya” [Bung Karno, Pidato HUT Proklamasi, 1964]